29 Januari 2009

Opini Jawa Pos

Fatwa MUI Setengah Hati
Oleh: Saratri Wilonuyo*

Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok dan masalah golput menarik perhatian masyarakat. Sederhana saja, rokok dan golput menyangkut nasib jutaan orang. Apalagi, masalah rokok juga menyangkut periuk nasi sekaligus kesehatan jutaan orang.
Sialnya, fatwa MUI tentang dua hal penting tersebut terkesan setengah hati. Soal fatwa haram merokok, misalnya. Mengapa MUI hanya membatasi untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta mereka yang merokok di tempat umum? Fatwa itu seolah membolehkan atau menghalalkan orang dewasa, wanita tidak hamil, dst merokok sendirian di kamar. Padahal, duduk masalahnya jelas bahwa sesuatu dianggap haram jika menyebabkan diri sendiri dan orang lain menderita. Atau dalam bahasa yang lebih gampang, jika banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya.
Jangankan merokok atau minum minuman keras, baru makan nasi saja kalau berlebihan dan membuat badan sakit dan kesehatan terganggu sudah termasuk haram. Karena itu, sebelum memutuskan sesuatu itu haram atau tidak, MUI juga mesti bertanya kepada ahli kesehatan, apakah benar hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan manusia?Jika jawabannya tegas ''ya'', mestinya MUI tidak boleh setengah hati untuk ''membatasi'' larangan merokok hanya bagi anak-anak dan remaja serta wanita hamil. Kalau memang berbahaya, ya harus ada fatwa tegas: merokok haram bagi siapa pun dan di mana pun, baik sendirian, apalagi di tempat umum.
Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, agama yang diturunkan untuk memberikan rahmat bagi sekalian alam. Masalahnya, orang beragama sering hanya menyembah simbol ritual, tanpa penghayatan yang dalam bahwa kesalehan tidak cukup hanya ''pribadi'', namun juga kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Karena itu, dalam Alquran, hanya 3,5 persen ayat-ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT atau yang disebut ibadah mahdoh. Sedangkan sisanya adalah masalah muamalah, hubungan antarmanusia. Islam bukan agama yang abstrak yang hanya memahami dogma.
Jadi tidak mengherankan jika pemahaman atas ayat yang dogmatis membuat sebagian para pengikutnya jumud. Lihat saja, ada isu lemak babi sudah membuat geger ribuan umat dengan demo yang heroik. Sementara ada perusakan hutan yang mengancam kerusakan bumi, umat diam saja. Ada masalah Gaza, ribuan umat sangat heroik dan gemas. Namun, melihat rakyat di sekitarnya yang kelaparan, terkena lumpur, kena gempa, korban penggusuran ketidakadilan, dst, umat diam saja. Mestinya masalah lemak babi, masalah perusakan lingkungan, korupsi, Gaza, korban lumpur, dst (untuk menyebut beberapa contoh kasus) adalah masalah-masalah berat yang harus ditangani bersama dengan pemahaman yang utuh.
Demikian juga fatwa setengah hati dari MUI. Mereka giat memfatwakan masalah-masalah yang ''sepele''. Namun, untuk masalah politik yang lebih berat, mereka tenang saja. Pernahkah kita dengar MUI memfatwakan haram atau tidak anggota DPR yang membolos atau anggota DPR yang menerima laptop atau uang ''terima kasih'' dari birokrat untuk mengesahkan RUU, misalnya? Haramkah para calon kepala daerah yang memasang janji-janji di baliho atau spanduk, kemudian mereka mengingkari?
Orang tentu akan menjawab, tanpa fatwa, ya jelas tindakan oknum anggota dewan tersebut haram. Namun, yang diharapkan, jika ada fatwa, akan lebih menekan secara psikologis dan moral. Dengan fatwa yang tegas akan menunjukkan sampai seberapa jauh kepekaan MUI terhadap nasib bangsa yang diombang-ambingkan oleh para politisi.
Yang terjadi malahan rakyat yang ''dikorbankan'' dengan mengharamkan ''golput''. Padahal, golput adalah hak rakyat setelah melihat perilaku sebagian besar anggota dewan melakukan korupsi, tidak serius memikirkan rakyat, menerima suap, memmbolos, dan hanya tidur di persidangan. Bahkan, sebagian lagi berpotensi membuat rakyat menderita dengan RUU yang merugikan masyarakat. Buktinya, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi demikian tinggi.Miskin Politik Golput juga bukan sekadar masalah kesengajaan, namun bisa jadi juga karena kemiskinan politik. Ada orang yang sangat sibuk mencari sesuap nasi di tempat terpencil atau jauh dari rumah sehingga harus kehilangan hak pilih, ada golput karena tidak paham masalah politik, tidak paham apa maksud mencontreng, tidak paham arti legislatif, dan tidak merasakan kehadiran legislatif atau kehadiran pemimpinnya. Boleh jadi dengan kehadiran oknum birokrat, pemimpin atau anggota dewan justru malah dianggap ''mengganggu'' irama kehidupan masyarakat yang sudah harmonis.
Fakta itu menunjukkan bahwa kehadiran sebagian anggota DPR boleh jadi malah menyusahkan rakyat. Sialnya, yang dijewer MUI adalah rakyat, dengan mengharamkan golput. Mestinya, jika MUI berendah hati dan arif, bisa jadi justru memilih anggota dewan dengan mutu yang rendah seperti ini menjadi ''haram'' karena berpotensi merusak kehidupan rakyat sebagaimana banyaknya kasus RUU dan UU yang bermasalah.
Apalagi jika ulah sebagian anggota dewan itu berpotensi memperpanjang rantai korupsi berjamaah, ini sungguh mengarah kepada kehancuran peradaban negeri. Sederhana saja sebagian oknum itu meminta jatah dari oknum birokrat yang juga korup dan ini berarti mempersubur kerusakan kehidupan sosial-ekonomi. Dengan cara ini, korupsi di segala lini terus dilakukan toh yang mengawasi juga minta bagian.Singkatnya, masyarakat menunggu MUI membuat fatwa-fatwa yang ''proporsional'', jelas dan tegas, yang jelas untuk membela kepentingan bersama, yang jelas berdasarkan ajaran Allah SWT, yang jelas bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia pada umumnya, dan bukan sekadar fatwa-fatwa ''sepele'', apalagi bernuansa politis.
Fatwa soal rokok haram yang disikapi secara setengah hati, bahkan NU ikut berbeda pendapat. Padahal, NU adalah gudang para ahli fiqih dan ahli masalah kemasyarakatan. Anehnya, mereka berbeda pendapat untuk masalah yang jelas-jelas sama dan dapat dibuktikan secara ilmiah oleh ahli kesehatan. Itu tentu ''memalukan'' umat Islam yang konon sangat maju di zaman abad pertengahan bahkan sampai di Eropa Barat dengan kisah klasiknya, Ibnu Sina, Aljabar, atau penguasaan di Konstantinopel, Cordoba, Spanyol, dan sebagainya.
* Dosen dan peneliti di Universitas Negeri Semarang

Tidak ada komentar: