16 Februari 2009

RENCANA PERUBAHAN KERAJAAN SAUDI


Meski sedikit terlambat, mungkin ada baiknya kita menyimak sejumlah perubahan yang sedang terjadi di Arab Saudi. Sabtu lalu, Raja Abdullah mengumumkan perombakan besar pertama pemerintah sejak ia menjadi raja Agustus 2005. Entahlah, kira-kira bagaimana Saudi ke depannya. Mungkin ada yang bisa membantu membayangkannya.

Raja Abdullah memecat dua tokoh agama yang dinilai berhaluan konservatif, serta menunjuk perempuan sebagai menteri pertama di negara itu. Ia menunjuk empat menteri baru, dan mengganti sejumlah pemimpin penting pengadilan dan merombak Dewan Ulama, sebuah badan ulama pemerintahan yang berinterpretasi banyak mengenai aturan Islam sebagai landasan kehidupan di kerajaan tersebut.

Raja juga menunjuk 79 anggota baru lembaga konsultatif Dewan Syura, sesuai berita harian Al-Hayat. Raja Abdullah mengganti kepala Dewan Pengadilan Tertinggi, Sheikh Salehal-Luhaidan, yang dikatakan aktivis Saudi telah merintangi pembaruan selama bertahun-tahun. Ia juga mengganti kepala polisi agama Muttawa, Sheikh Ibrahimal-Ghaith, yang telah memimpin kampanye agresif di media bagi pelaksanaan keras adat-istiadat Islam, dan menantang tokoh lain yang lebih liberal dalam pemerintah.

Media menyambut dengan antusias perubahan itu. Saudi Gazette menyatakan, perombakan itu merupakan "dorongan bagi pembaruan" dikerajaan Muslim tersebut. Perombakan pemerintah Saudi yang diumumkan kemarin tidak hanya perubahan awalan. Tapi Itu pertanda jelas dari perubahan besar dikerajaan ini, seperti tercatat dalam editorial harian Arab News.

"Pembaruan yang berani," Demikian head line surat kabar Al-Hayat dalam berita utamanya. Konon masyarakat Arab Saudi juga menyambut gembira perombakan luas pemerintah oleh Raja Abdullah sebagai langkan berani ke depan. "Segalanya fantastis. Inilah yang telah kami perjuangkan" kata Ibrahim Mugaiteeb, pemimpin Human Rights First Society yang memperjuangkan HAM di Timur Tengah.

Beberapa pihak telah memprediksikan bahwa perubahan di kerajaan itu akan datang dari gerakan raja pada saatnya yang tepat. Boleh jadi,momentum perubahan kepemimpinan di AS menjadi salah satu momentumnya. Perjuangan menyangkut moralitas publik dan perempuan dalam jabatansenior telah muncul selama beberapa tahun, dan tantangan terhadapIslam konservatif meningkat dalam beberapa bulan terakhir.

Kelompok perempuan menuntut lebih banyak hak dan dipatahkannyarintangan yang membatasi kesempatan karir mereka. Lalu, masyarakatminta film diputar di gedung bioskop, yang telah dilarang selama 30 tahun, dan kelompok HAM menuduh hakim Islam melakukan pengadilan kasar dan tidak konsisten. Pekan lalu, Puteri Amira at-Taweel, isteri hartawan Pangeran Alwaleed bin Talal, menyampaikan keluhan secara terbuka. Meskipun ia dapat mengemudikan mobil di tempat lain di manapun di dunia, ia tidak dapat menyetir mobil di negaranya sendiri, karena hal itu dilarang. Namun simbolisme perubahan raja itu akan memiliki dampak. Yang paling simbolis adalah penunjukan veteran ahli pendidikan Norah al-Fayez sebagai wakil menteri pendidikan untuk perempuan — jabatan palingtinggi yang pernah diberikan kepada perempuan di kerajaan itu. Meski demikian, langkah bagi perempuan tidak akan sejauh yang banyakorang harapkan. Pada Januari, media Saudi melaporkan bahwa paraanggota baru Dewan Syura akan termasuk enam perempuan. Sebelumnya,perempuan tak terwakili di dewan itu pada masa lalu. Namun, ternyatatidak ada satu perempuan pun muncul dalam daftar baru itu. Yang lebih fundamental adalah perubahan pada kepemimpinan agama dinegara itu, yang mendominasi pemikiran dalam pendidikan, pengadilan, dan kehidupan sosial. Penggantian Luhaidan, yang memalukan pemerintah September lalu, ketikaia mengatakan bahwa pemilik saluran televisi satelit yang menyiarkansiaran "tidak bermoral" sebaiknya dibunuh, dipercaya akan membuka lagipintu bagi pembaruan.Hal yang sama mungkin pada Dewan Ulama. Ia telah menunjuk sejumlah anggota baru, dan untuk pertama kali mencakup wakil dari semua empat sekolah hukum agama Sunni. Sebelumnya hanya sekolah Hambali, sekolah ultra-konservatif yang mendominasi versi Islam Saudi, yang mewakili dewan itu.

10 Februari 2009

Semenit Saja

SEMENIT SAJA

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjiduntuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!Betapa lamanya melayani Allah selama lima belas menit namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.

Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa.

Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur'an tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang berada di saf paling belakang ketika berada di Masjid Betapa Mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.

Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saat terakhir untuk event yang menyenangkan.
Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam al qur'an; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.
Betapa Takutnya kita apabila dipanggil Boss dan cepat-cepat menghadapnya namun betapa kita berani dan lamanya untuk menghadapNya saat kumandang azan menggema.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.
Betapa kita dapat menyebarkan seribu lelucon melalui e-mail, dan menyebarluaskannya dengan FORWARD seperti api; namun kalau ada mail yang isinya tentang Allah betapa seringnya kita ragu-ragu, enggan membukanya dan mensharingkannya, Ingat.., sampaikan walau satu ayat.......

29 Januari 2009

Opini Jawa Pos

Fatwa MUI Setengah Hati
Oleh: Saratri Wilonuyo*

Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok dan masalah golput menarik perhatian masyarakat. Sederhana saja, rokok dan golput menyangkut nasib jutaan orang. Apalagi, masalah rokok juga menyangkut periuk nasi sekaligus kesehatan jutaan orang.
Sialnya, fatwa MUI tentang dua hal penting tersebut terkesan setengah hati. Soal fatwa haram merokok, misalnya. Mengapa MUI hanya membatasi untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta mereka yang merokok di tempat umum? Fatwa itu seolah membolehkan atau menghalalkan orang dewasa, wanita tidak hamil, dst merokok sendirian di kamar. Padahal, duduk masalahnya jelas bahwa sesuatu dianggap haram jika menyebabkan diri sendiri dan orang lain menderita. Atau dalam bahasa yang lebih gampang, jika banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya.
Jangankan merokok atau minum minuman keras, baru makan nasi saja kalau berlebihan dan membuat badan sakit dan kesehatan terganggu sudah termasuk haram. Karena itu, sebelum memutuskan sesuatu itu haram atau tidak, MUI juga mesti bertanya kepada ahli kesehatan, apakah benar hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan manusia?Jika jawabannya tegas ''ya'', mestinya MUI tidak boleh setengah hati untuk ''membatasi'' larangan merokok hanya bagi anak-anak dan remaja serta wanita hamil. Kalau memang berbahaya, ya harus ada fatwa tegas: merokok haram bagi siapa pun dan di mana pun, baik sendirian, apalagi di tempat umum.
Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, agama yang diturunkan untuk memberikan rahmat bagi sekalian alam. Masalahnya, orang beragama sering hanya menyembah simbol ritual, tanpa penghayatan yang dalam bahwa kesalehan tidak cukup hanya ''pribadi'', namun juga kesalehan sosial dan kesalehan profesional. Karena itu, dalam Alquran, hanya 3,5 persen ayat-ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT atau yang disebut ibadah mahdoh. Sedangkan sisanya adalah masalah muamalah, hubungan antarmanusia. Islam bukan agama yang abstrak yang hanya memahami dogma.
Jadi tidak mengherankan jika pemahaman atas ayat yang dogmatis membuat sebagian para pengikutnya jumud. Lihat saja, ada isu lemak babi sudah membuat geger ribuan umat dengan demo yang heroik. Sementara ada perusakan hutan yang mengancam kerusakan bumi, umat diam saja. Ada masalah Gaza, ribuan umat sangat heroik dan gemas. Namun, melihat rakyat di sekitarnya yang kelaparan, terkena lumpur, kena gempa, korban penggusuran ketidakadilan, dst, umat diam saja. Mestinya masalah lemak babi, masalah perusakan lingkungan, korupsi, Gaza, korban lumpur, dst (untuk menyebut beberapa contoh kasus) adalah masalah-masalah berat yang harus ditangani bersama dengan pemahaman yang utuh.
Demikian juga fatwa setengah hati dari MUI. Mereka giat memfatwakan masalah-masalah yang ''sepele''. Namun, untuk masalah politik yang lebih berat, mereka tenang saja. Pernahkah kita dengar MUI memfatwakan haram atau tidak anggota DPR yang membolos atau anggota DPR yang menerima laptop atau uang ''terima kasih'' dari birokrat untuk mengesahkan RUU, misalnya? Haramkah para calon kepala daerah yang memasang janji-janji di baliho atau spanduk, kemudian mereka mengingkari?
Orang tentu akan menjawab, tanpa fatwa, ya jelas tindakan oknum anggota dewan tersebut haram. Namun, yang diharapkan, jika ada fatwa, akan lebih menekan secara psikologis dan moral. Dengan fatwa yang tegas akan menunjukkan sampai seberapa jauh kepekaan MUI terhadap nasib bangsa yang diombang-ambingkan oleh para politisi.
Yang terjadi malahan rakyat yang ''dikorbankan'' dengan mengharamkan ''golput''. Padahal, golput adalah hak rakyat setelah melihat perilaku sebagian besar anggota dewan melakukan korupsi, tidak serius memikirkan rakyat, menerima suap, memmbolos, dan hanya tidur di persidangan. Bahkan, sebagian lagi berpotensi membuat rakyat menderita dengan RUU yang merugikan masyarakat. Buktinya, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi demikian tinggi.Miskin Politik Golput juga bukan sekadar masalah kesengajaan, namun bisa jadi juga karena kemiskinan politik. Ada orang yang sangat sibuk mencari sesuap nasi di tempat terpencil atau jauh dari rumah sehingga harus kehilangan hak pilih, ada golput karena tidak paham masalah politik, tidak paham apa maksud mencontreng, tidak paham arti legislatif, dan tidak merasakan kehadiran legislatif atau kehadiran pemimpinnya. Boleh jadi dengan kehadiran oknum birokrat, pemimpin atau anggota dewan justru malah dianggap ''mengganggu'' irama kehidupan masyarakat yang sudah harmonis.
Fakta itu menunjukkan bahwa kehadiran sebagian anggota DPR boleh jadi malah menyusahkan rakyat. Sialnya, yang dijewer MUI adalah rakyat, dengan mengharamkan golput. Mestinya, jika MUI berendah hati dan arif, bisa jadi justru memilih anggota dewan dengan mutu yang rendah seperti ini menjadi ''haram'' karena berpotensi merusak kehidupan rakyat sebagaimana banyaknya kasus RUU dan UU yang bermasalah.
Apalagi jika ulah sebagian anggota dewan itu berpotensi memperpanjang rantai korupsi berjamaah, ini sungguh mengarah kepada kehancuran peradaban negeri. Sederhana saja sebagian oknum itu meminta jatah dari oknum birokrat yang juga korup dan ini berarti mempersubur kerusakan kehidupan sosial-ekonomi. Dengan cara ini, korupsi di segala lini terus dilakukan toh yang mengawasi juga minta bagian.Singkatnya, masyarakat menunggu MUI membuat fatwa-fatwa yang ''proporsional'', jelas dan tegas, yang jelas untuk membela kepentingan bersama, yang jelas berdasarkan ajaran Allah SWT, yang jelas bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia pada umumnya, dan bukan sekadar fatwa-fatwa ''sepele'', apalagi bernuansa politis.
Fatwa soal rokok haram yang disikapi secara setengah hati, bahkan NU ikut berbeda pendapat. Padahal, NU adalah gudang para ahli fiqih dan ahli masalah kemasyarakatan. Anehnya, mereka berbeda pendapat untuk masalah yang jelas-jelas sama dan dapat dibuktikan secara ilmiah oleh ahli kesehatan. Itu tentu ''memalukan'' umat Islam yang konon sangat maju di zaman abad pertengahan bahkan sampai di Eropa Barat dengan kisah klasiknya, Ibnu Sina, Aljabar, atau penguasaan di Konstantinopel, Cordoba, Spanyol, dan sebagainya.
* Dosen dan peneliti di Universitas Negeri Semarang

14 Januari 2009

Saat di Rafah (antara Mesir-Palestina)

Salam,
Berikut ada sedikit oretan tentang kunjungan Rafah (Perbatasan Mesir-Palestina) beberapa hari yang lalu, dari sahabat penulis yang studi di Mesir, bersama Bapak Mustafa Abd. Rahman (Wartawan KOMPAS) dan dr. Sarbini (Tim Medis MER-C). Oretan ini sekedar catatan harian biasa yang coba saya ditulis seputar kondisi kehidupan masyarakat di tengah berkecamuknya serangan/pembantaian oleh tentara Israil. Semoga berkenan dan terima kasih.


Pesona Rafah dan Siluet Perdamaian

Ahad siang (11/1) Matahari di Kota Rafah tak menyengat, angin gurun yang kering cukup membuat setiap orang yang lalu lalang di depan Gerbang Rafah merapatkan jaket. Saya berjalan menuju pintu gerbang dan melewati beberapa truk bantuan kemanusiaan. Ada beberapa truk yang menunggu giliran masuk ke Rafah Palestina. Di antara deretan truk itu ada tiga yang berasal dari Turki, lalu dua mobil di depannya dari Malaysia. Lalu saya membatin, dimana bantuan dari Indonesia?Saya terus menyisir truk maupun mobil bantuan, tujuannya hanya satu, mencari mobil bantuan asal Indonesia.
Di tengah konflik seperti ini antusias rakyat Indonesia luar biasa, hal itu menambah kebanggaan saya terhadap Indonesia. Sayang, hingga ujung antrian, saya tak menemukan yang saya cari.
Saya terus melangkah, duapuluh meter sebelum pintu gerbang ekor mata saya menyapu deretan kerumunan orang asing yang memakai seragam dengan lambang bulan sabit atau palang merah. Tiba-tiba, ekor mata saya menyapu sebuah topi berbendera merah putih. "Itu dia orang Indonesia" pekik saya girang.
Dari jaketnya saya tahu beliau adalah satu dari sekian dokter dari MER-C. Kamipun terlibat perbincangan akrab. Setelah basa-basi saya bertanya dimana bantuan dari Indonesia. "Oh sudah masuk beberapa hari yang lalu, semua bantuan kita sudah masuk. Sekarang kita sedang berusaha untuk memberikan bantuan tim medis" jawab dr. Sarbini. Beliau menambahkan, bahwa proses selanjutnya adalah memberikan bantuan tim medis untuk Gaza. "Baru saja teman-teman saya bertolak ke Kairo untuk mengurus proses pemberangkatan tim medis" ujarnya lagi.
Menurut Dokter Sarbini, Gaza memerlukan bantuan tim medis, ribuan korban di Gaza tak mungkin ditangani dengan beberapa dokter saja. Apalagi rumah sakit yang ada terbatas, bahkan ada beberapa rumah yang sudah disulap menjadi rumah sakit. Peralatan medispun terbatas. Maka, Indonesia sedang mengusahakan untuk membeli ambulan.
Masih menurut Dokter Sarbini, dia dan rekan satu timnya yang berjumlah lima orang sudah siap untuk menghadapi apapun. Sebagai dokter bedah mereka sudah terbiasa dengan pasien dengan luka parah. Bukan hanya itu, Sarbini juga mengatakan bahwa tekad mereka sudah bulat untuk masuk ke Gaza dan memberikan bantuan apapun bagi Gaza, meski nyawa taruhannya.
Ditanya tentang korban yang dilarikan ke Mesir, Sarbini mengatakan bahwa korban yang dilarikan ke Mesir--tepatnya ke Kota 'Arisy atau Kairo--adalah korban yang sangat parah dan tim medis sudah tidak bisa melakukan apa-apa. "Maka dari itu, kami ngotot masuk ke Gaza, karena ketika kami berkunjung ke rumah sakit el-Aris kemarin, kami tak bisa berbuat sesuatu" imbuhnya. "Doakan saja semoga kami cepat masuk, karena di Indonesia masih banyak yang akan menyusul, jadi kami adalah yang pertama, kalau lancar gelombang berikutnya akan menyusul dua puluh tim medis" Lanjut Sarbini bergelora.
Tak hanya tim medis dari Indonesia yang akan masuk ke Gaza, beberapa tim medis Eropa juga menunggu persetujuan dari pemegang otoritas Gerbang Rafah. BBC melaporkan pada Ahad (11/1) bahwa 39 dokter telah masuk ke Gaza, tiga puluh lima diantaranya adalah dokter Mesir sedangkan sisanya berasal dari negara Arab.
***
Menjelang sore, raungan pesawat terbang jenis F-16 menderu-deru di langit Gaza. Sore itu (11/1) adalah sore hiruk-pikuk, empat pesawat tempur Israel bermanuver rendah seraya menyemburkan kembang api. Sementara itu dua pesawat intai juga hilir mudik. Setelah liukan gemulai F-16 dan langkah tenang pesawat intai, terdengar siutan nyaring disusul asap tebal menyelimuti langit. Deru pesawat dan suara ledakan adalah orkestra biasa penduduk Rafah.
Waktu menunjukkan angka empat, saya dan rombongan berputar mengelilingi kota Rafah untuk mencari rumah makan sekedar mengganjal perut dan beli minuman. Ternyata, mencari rumah makan di sini lumayan sulit untuk tidak mengatakan sukar. Beberapa kali tempat yang kami kira rumah makan ternyata "Kawafir" (pangkas rambut) dan warnet. Entah, saya juga tak bisa mengerti mengapa rumah makan sukar ditemui. Padahal, saya lihat kota ini lumayan ramai. Memang, orang asing jarang masuk kota Rafah, umumnya mereka hanya menuju Gerbang Rafah, jarang yang menjelajah kota. Di daerah pinggiran kota, saya lihat kebun jeruk berjejal dengan buahnya yang ranum. Kota yang mempunyai motto Almadhi al-Ariq Alhadir al-Majid wal mustaqbal al-Masyrik ini memang tampak biasa, namun jadi luar biasa karena menjadi perbatasan penting Mesir-Palestina.
Para relawan dan wartawan memang tak bisa tinggal di Rafah. Di Rafah tak ada hotel atau sekedar penginapan sederhana. Mereka tinggal di 'Arisy dan memilih bolak-balik 'Arisy-Rafah. Rafah dan 'Arisy tak jauh, hanya 40 km dengan jarak tempuh setengah jam perjalanan.
Di depan sebuah cafe kami berhenti, saya lihat ada beberapa intelejen Mesir di sekitar cafe. Perawakan mereka biasa, tapi terselip pistol dan walkie talkie di pinggang mereka. Cafe ini terletak beberapa meter dari tembok pembatas Mesir-Palestina. Saya minta izin untuk masuk lebih dalam dan mengambil gambar, karena saya lihat asap tebal baru saja menyembul dari balik tembok. Rupanya baru saja terjadi pengeboman.
Tiba-tiba beberapa penduduk Rafah Mesir menghambur keluar dan menunjuk arah ledakan. Anak-anak pun berjejal saling sikut untuk naik ke atas gundukan pasir seakan melihat tontonan sirkus. Saya dan rombongan--saya bersama Musthafa Abd. Rahman wartawan KOMPAS dan dr. Sarbini tim medis MER-C--keluar dari cafe untuk melihat apa yang terjadi. Sial! pesawat tempur Israel kembali unjuk kekuatan. Mungkin pemandangan ini sudah biasa bagi penduduk. Tapi, mengapa para penjaga perbatasan yang notabene adalah tentara tak tersinggung melihat aksi pamer yang memuakkan ini. Mungkin mereka geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Atasan mereka masih beku di meja perundingan. Panglima mereka sibuk cari dukungan, tak berani sendirian.
Setelah asap hitam mengepul, saya teringat Luay Shabah, seorang bocah yang tak lagi bisa melihat indahnya dunia karena dua matanya buta. Luay ketika diwawancarai Al-Jazeera hanya bisa berceracau tentang nasib diri dan keluarganya. Begitu juga dengan bocah-bocah Palestina korban agresi.
Berada di balik dinding sana memang berbahaya. Jangankan di balik dinding yang menjadi daerah konflik, di Rafah Mesir pun juga daerah rawan. Rudal nyasar yang kemarin menghantam Gerbang Rafah (10/1) cukup menggetarkan para wartawan yang sedang bertugas, bahkan sebuah Mitsubishi Lancer milik Metin (Seorang Wartawan asal Turki) juga menjadi korban. Ketika bertemu tadi siang, Metin hanya tersenyum dan mengatakan semuanya sudah suratan takdir.
Ketika asyik bengong melihat aksi pamer pesawat, dari belakang seorang pemuda menyodorkan sekaleng Pepsi. Saya dan rombongan mengucapkan terimakasih dan menanyakan berapa harganya. Tapi, dengan halus dia mengatakan "Tak perlu, ini buat kalian, biar saya yang bayar". Awalnya saya mengira dia pemilik cafe, atau penjaga warung di samping cafe. Ternyata, semuanya salah, dia hanya seorang pekerja bengkel di ujung jalan sana.
Panjang lebar, pemuda yang tak memberi tahu nama itu mengungkapkan kekesalannya atas agresi Israel. Dia juga mengatakan bahwa masih ada beberapa terowongan yang menghubungkan Rafah Mesir dan Rafah Palestina. "Kami biasa mengirim rekan-rekan kami dengan makanan dan perlengkapan mereka" tutur pemuda itu lagi. Ketika saya tanya di mana letak terowongan itu, dia hanya bilang "di sana" dan mengalihkan pembicaraan.
Setelah makan seadanya, kami beranjak keluar cafe dan melanjutkan perjalanan melihat situasi Gerbang Rafah di sore hari. Gerbang Rafah di sore hari tak jauh berbeda dengan siang atau pagi. Antrian truk dan mobil yang membawa bantuan kemanusiaan berjejer di samping kanan. Sementara di samping kirinya beberapa mobil wartawan dan relawan parkir. Semburat senja menyelimuti Rafah, deru pesawat masih terus terdengar di udara, beradu dengan bunyi sirine ambulan yang keluar dari Gerbang Rafah membawa korban. Sampai kapan panorama ini berlanjut? Kapan bocah-bocah Palestina menghirup udara segar kedamaian?
Benih-benih perdamaian seringkali ditabur di atas meja perundingan. Oslo, Madrid, Sharm dan meja-meja lainnya menjadi saksi bisu. Tapi, tak sampai berbunga, hanya muncul sebagai bakal bunga, putiknya rontok hingga rakyat tak bisa menyemai bunga itu di Palestina. Mereka hanya bisa merasakan getirnya perang dan pahitnya perlawanan.
Malam mulai menyelimuti Rafah, saya dan rombongan beranjak meninggalkan Rafah. Meninggalkan Rafah berarti meninggalkan Jeritan Luay dan ribuan korban perang di Palestina. Nasib Luay dan rakyat Palestina kini dipertaruhkan di atas meja perundingan di Kairo, Qatar atau pekan depan di Kuwait.
Saya teringat pidato Menachem Begin ketika dinobatkan sebagai peraih nobel perdamaian tahun 1978, setahun setelah ia menjabat PM Israel, dia dengan lantang mengatakan "Perdamaian adalah keindahan hidup, ia laksana sinar mentari. Kedamaian adalah senyum anak kecil, cinta seorang ibu, kebahagiaan seorang ayah, kebersamaan sebuah keluarga. Perdamaian adalah kemajuan manusia, kemenangan keadilan, kemenangan kebenaran. Perdamaian adalah semua itu dan lebih dari semua itu". Ya, perdamaian adalah segalanya, tapi adakah penerus Menachem Begin meyakini itu?(rIs)